Semua Sudah Berniat Baik. Tapi… Kenapa Perubahan Tak Kunjung Nyata?

“Repot.”

Itu kata pertama yang keluar saat Pak Budi—guru PJOK di sebuah sekolah swasta—mengusulkan agenda “kantin sehat” di rapat guru.

“Orang tua juga belum tentu dukung,” timpal rekan sejawatnya.

Padahal, belum lama ini… ada siswa yang sakit perut gara-gara minuman berwarna mencolok di depan gerbang sekolah. Komite orang tua mulai ramai memperbincangkan. Tapi tetap saja, tak ada tindak lanjut.

Kenapa?

Di sisi lain…

Mas Dika—staf teknis Dinas Kesehatan Kabupaten—duduk menatap layar laptopnya.

“Mas, tolong siapkan bahan paparan untuk rakor lintas OPD minggu depan, ya.”

Ia menarik napas panjang.

Data konsumsi sayur-buah? Rasanya tidak mencerminkan kondisi lapangan yang serba sumber karbohidrat.

Program penyuluhan tahun lalu? Tak ada yang bisa dibuktikan hasilnya.

Ia ingin menyumbang sesuatu yang nyata, berbasis bukti… tapi mulai dari mana?

Sementara itu…

Di sebuah ruang meeting tim CSR sebuah perusahaan agribisnis, Mbak Intan baru saja menyusun proposal.

“Kayaknya tahun lalu kita udah adain workshop deh,” gumamnya. “Tapi… nggak ada kelanjutannya ya?”

Lembar laporan tetap kosong. Komunitas sekitar belum berubah.

Apa jangan-jangan program ini hanya sekadar tanda centang di laporan tahunan?

Dan di desa…

Mas Joko, field officer dari NGO lokal, baru saja selesai memfasilitasi kelas memasak sehat. Ibu-ibu PKK senang. Antusias.

Lalu atasan Mas Joko bertanya,

“Mas, ada indikator perubahan perilaku?”

Mas Joko terdiam.

“Ada dokumentasi kegiatan. Beberapa testimoni juga.”

Tapi… apa cukup?

Pertanyaannya…

Kenapa cerita-cerita ini terasa familiar di banyak tempat?

Kenapa semua pihak—guru, ASN, CSR, NGO—sudah bergerak… tapi perubahan tak pernah terasa tuntas?

Bukan karena kurang niat. Tapi karena belum ada sistem yang menyatukan langkah-langkah kecil itu menjadi gerakan bersama.

Mengapa Banyak Program Gizi Berakhir Jadi Poster dan Laporan Saja?

Berapa banyak pelatihan gizi yang sudah dilakukan tahun ini?

Berapa banyak infografis yang sudah disebar?

Berapa banyak foto kegiatan yang sempat viral… tapi kemudian menguap begitu saja?

Pertanyaannya: Kenapa semua itu tidak cukup?

Mengubah perilaku makan bukan soal menyisipkan pesan gizi satu-dua kali,

apalagi menggantungkan harapan pada banner, video, atau spanduk.

Perubahan yang bertahan butuh lebih dari itu:

➡️ sistem belajar yang konsisten,

➡️ norma baru yang ditanam bersama,

➡️ dan keterlibatan yang bukan cuma seremonial.

Ini bukan teori kosong.

Ini sintesis dari pengalaman lapangan dan pembelajaran lintas sektor.

Dan semua itu dirangkum operasionalnya dalam satu kerangka: Model EcoFun.

Model ini berdiri di atas dua pilar:

🧠 Ecological Model of Health Behavior (McLeroy et al., 1988)

dan

📊 Funnel of Change dari dunia pemasaran: perilaku konsumen.

Yang pertama menjelaskan:

Perilaku makan tidak berdiri sendiri. Ia dibentuk oleh lima lapis pengaruh—dari dalam diri (pengetahuan, motivasi), hingga lingkungan paling luas (kebijakan publik dan narasi kolektif).

Intrapersonal. Interpersonal. Institusi. Komunitas. Kebijakan.

Artinya, keputusan seseorang untuk mengubah pola makan menjadi bergizi seimbang tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan pribadinya, tapi juga oleh tekanan sosial dari teman, peraturan tempat kerja, norma budaya komunitas, serta narasi yang dibentuk oleh kebijakan pemerintah.

Yang kedua mengingatkan: Orang tidak serta-merta berubah karena tahu.

Perubahan itu bertahap: dari tahu → mulai tertarik → mencoba → lalu mempromosikan.

Kalau program berhenti di “awareness”…

jangan harap akan ada aksi nyata.

Masalahnya?

Banyak program gizi hanya menarget 1–2 titik.

Contohnya: Sekolah membuat penyuluhan, tapi menu kantinnya tetap.

NGO kampanye ke ibu-ibu, tapi suplai bahan pangan sehat tidak disentuh.

CSR buat workshop, tapi belum ada strategi keberlanjutan yang disiapkan setelahnya.

ASN diminta laporkan hasil, tapi indikator perilakunya tidak pernah disepakati sejak awal.

Semua sudah niat. Semua sudah bergerak. Tapi arah dan tujuannya tidak dijahit jadi satu sistem.

Akhirnya…

Program jadi “hit & run”.

Datang sebentar, ramai sejenak, menginspirasi sesaat…

Lalu hilang di tumpukan laporan.

Atau tenggelam di feed media sosial.

Kalau Mau Dampak Nyata…

…Kita Harus Menata Ulang Cara Memandang & Merancang Program

Selama ini kita sering berpikir:

“Kalau semua sudah paham, pasti akan berubah.”

Tapi kenyataannya? Tidak semudah itu.

Model EcoFun tidak berangkat dari asumsi bahwa semua orang harus berubah.

Justru sebaliknya: kami ajak mitra memetakan siapa yang paling strategis untuk memicu perubahan.

📌 Siapa yang bisa men-trigger?

📌 Siapa yang bisa jadi penghubung antar aktor?

📌 Siapa yang bisa mengunci kebiasaan jadi kebijakan?

Contohnya?

Di sekolah…

➡️ Apakah guru PJOK cukup dipercaya murid?

➡️ Siapa yang bisa membawa isu gizi masuk ke SOP sekolah?

Di Pemda…

➡️ Siapa penyusun RPJMD atau RAPDG yang bisa menambahkan indikator perilaku?

Di NGO lokal…

➡️ Siapa kader yang sudah dipercaya warga dan bisa jadi contoh nyata?

Mari kita mulai dari tempat yang mudah dibayangkan semua orang…

Sekolah swasta.

Kenapa sekolah ini dipilih?

Karena hampir semua dari kita pernah sekolah.

Dan sekolah swasta punya keleluasaan lebih tinggi:

💡 Tidak perlu menunggu regulasi pusat untuk mencoba hal baru.

💡 Keputusan bisa lebih cepat, fleksibel, dan adaptif.

Berikut adalah langkah demi langkah implementasi model EcoFun di sekolah swasta.

1. Kenali Masalah dari Akar

Sebelum mulai merancang kegiatan, ada baiknya Anda kembali ke realitas di lapangan.

Perhatikan kebiasaan sehari-hari:

Apakah siswa lebih sering jajan makanan mencolok di luar sekolah?

Apakah karyawan cenderung melewatkan sarapan?

Lalu gali lebih dalam dengan tanya jawab ringan, semacam:

“Apa yang paling umum dikonsumsi setiap hari?”

“Kebiasaan mana yang ingin diubah, tapi terasa susah?”

“Pernah ada program serupa sebelumnya? Apa yang membuatnya tidak bertahan?”

 

Dari situ, rumuskan satu simpul masalah yang terasa paling nyata dan bisa dijadikan titik berangkat.

Misalnya: “Siswa lebih suka jajanan ultra-proses ketimbang membawa bekal dari rumah.”

2. Rinci Tujuan Perilaku dengan Jelas dan Terukur

Setelah masalahnya ditemukan, tentukan perubahan perilaku seperti apa yang ingin dicapai.

Gunakan rumus sederhana:

“(Siapa) akan (berbuat apa) sebanyak (berapa kali) dalam waktu (berapa lama), dan bisa dilihat lewat (apa indikatornya).”

Contoh:

“Siswa kelas 4–6 akan membawa bekal sehat minimal 3 kali seminggu selama 2 bulan, dan dapat menyebutkan tiga manfaat makan bergizi seimbang.”

Dengan rumusan ini, Anda bisa memastikan program tidak hanya menginspirasi, tapi juga bisa dipantau hasilnya.

3. Pahami Tahapan Perjalanan Perubahan

Perubahan tidak terjadi sekaligus. Ada empat tahap yang perlu dilalui:

Awareness – orang baru tahu.

→ Contohnya: video edukasi, cerita nyata, sesi pengantar.

Consideration – mulai tertarik dan menimbang ikut.

→ Diskusi kelompok, tugas sekolah, jurnal pribadi.

Action – sudah mulai mencoba.

→ Tantangan bekal sehat, SOP, praktik langsung.

Promotion – mulai mengajak orang lain.

→ Testimoni, showcase, postingan media sosial.

Catatan penting: funnel ini bukan hanya berlaku untuk siswa, tapi juga untuk guru, orang tua, karyawan, bahkan pejabat.

4. Kenali Siapa yang Berperan di Tiap Lapisan

Tidak semua orang harus diubah sekaligus. Tapi Anda bisa mulai dari aktor kunci di tiap tingkat pengaruh:

Fokuslah pada mereka yang paling mungkin:

  1. mudah diajak,
  2. berpengaruh sosial,
  3. punya pengalaman atau sudah percaya pada ide perubahan.

5. Rancang Program Anda ke dalam Matriks EcoFun

Tidak perlu mengisi semua kotak di awal. Anda bisa mulai dari satu baris saja—misalnya hanya di level siswa—dan berkembang bertahap.

Ketika Semua Sudah Bergerak…

Siapa yang Menyulamnya Jadi Satu Arah?

Coba pikirkan sejenak…

Sudah ada pelatihan, sudah ada kader, sudah ada anggaran.

Tapi kenapa perubahan masih terasa jauh?

Apa karena kurang niat? Kurang dana?

Atau… karena belum ada yang menyatukan langkah-langkah yang sudah tersebar?

Model EcoFun tidak hadir untuk mengganti inisiatif yang sudah ada.

Bukan. Bukan itu tujuannya.

Justru sebaliknya:

Model ini membantu Anda menyulam yang sudah ada—jadi satu arah gerakan.

🔁 Dari individu… hingga kebijakan.

🔁 Dari kesadaran… hingga promosi.

Kalau Anda saat ini sedang merasa:

“Program sudah banyak, tapi tak jelas arahnya…”

“Kami sudah jalan, tapi belum tahu dampaknya apa…”

“Setiap bagian sudah kerja, tapi belum saling sambung…”

…maka, mungkin yang Anda butuhkan bukan sekadar program baru.

Tapi peta menyeluruh. Benang merah yang bisa menjahit semuanya jadi perubahan yang nyata.

Dan di sinilah peran kami di MWA Training & Consulting.

Kami membuka sesi konsultasi terstruktur—bukan obrolan biasa.

Melainkan sesi yang akan memberi Anda:

✅ Peta utuh dari yang selama ini terasa acak.

✅ Titik tuas yang layak diprioritaskan lebih dulu.

✅ Strategi bertahap yang bisa langsung Anda pakai.

Karena kadang, satu sesi dengan arah yang jelas…

lebih berdampak daripada seratus kegiatan yang berjalan sendiri-sendiri.

Siap menyulam perubahan jadi satu arah?